PR Hilang Diganti Project, Cara Baru Gen Z Menyerap Ilmu
![]() |
Sumber : Gemini |
Beberapa tahun lalu, hampir setiap sore anak-anak sekolah di
Indonesia sibuk mengerjakan pekerjaan rumah (PR).
Lembar soal menumpuk, guru mengecek, lalu memberi nilai. Itu
sudah jadi rutinitas turun-temurun.
Namun kini, perlahan tapi pasti, tradisi itu mulai
ditinggalkan.
Banyak sekolah mulai beralih ke project-based learning
(PJBL), sebuah metode belajar yang menekankan pengalaman nyata dan
kolaborasi, bukan sekadar hafalan dan latihan soal.
Fenomena ini semakin terasa di era Generasi Z,
generasi yang tumbuh bersama internet, media sosial, dan teknologi digital.
Mereka tidak lagi sekadar mencari jawaban di buku cetak,
tetapi lebih suka bereksperimen, berdiskusi, bahkan belajar lewat video TikTok
atau YouTube. Maka, sistem pendidikan pun dituntut berubah.
Pertanyaannya, apakah penghapusan PR benar-benar jadi jalan keluar, atau justru membuka masalah baru?
Dari PR Menuju Proyek Nyata
Pekerjaan rumah selama puluhan tahun dianggap sebagai cara
guru memastikan murid memahami pelajaran.
Namun kritiknya jelas, PR sering membuat siswa stres, bahkan
kadang hanya jadi beban administratif tanpa manfaat berarti.
Di sinilah project-based learning muncul sebagai solusi. Alih-alih mengerjakan soal rutin, siswa diminta menyelesaikan proyek nyata, membuat video dokumenter sejarah lokal, merancang prototipe
Sains
sederhana, atau menyusun proposal bisnis kecil. Proyek ini menuntut mereka
berpikir kritis, bekerja sama, sekaligus kreatif.
Banyak sekolah di kota besar seperti Jakarta, Bandung,
hingga Malang mulai mengadopsi pendekatan ini.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan lagi pemberi tugas
kaku. Alhasil, kelas menjadi lebih hidup, siswa tidak hanya mendengar, tapi
juga mencipta.
Gen Z dan Gaya Belajar Baru
Generasi Z dikenal cepat bosan, multitasking, dan akrab
dengan teknologi. Mereka belajar sambil mendengarkan musik, menonton video,
atau bahkan berdiskusi lewat grup chat. Di sinilah proyek menjadi lebih cocok
dibanding PR.
Bayangkan, seorang siswa diminta membuat kampanye digital
tentang isu lingkungan. Alih-alih mengisi lembar soal, ia bisa menggunakan
Canva, Instagram, atau bahkan AI untuk menyusun ide.
Kegiatan ini terasa lebih relevan dengan dunia nyata. Mereka
merasa belajar bukan hanya demi nilai, tetapi untuk mengasah keterampilan
hidup.
Bagi Gen Z, “learning by doing” lebih efektif
dibanding sekadar menghafal. Dan inilah alasan mengapa PR mulai ditinggalkan.
Apa Tanggapan Guru dan Orang Tua?
Tidak semua pihak langsung setuju. Beberapa guru khawatir
proyek malah memakan waktu lebih banyak. Orang tua juga ada yang merasa
bingung, karena mereka terbiasa melihat anak belajar lewat PR.
“Kalau nggak ada PR, apa anak saya benar-benar belajar?”
begitu salah satu pertanyaan yang sering muncul.
Namun, pengalaman sekolah percontohan menunjukkan hasil yang
cukup positif. Siswa justru jadi lebih mandiri.
Mereka terbiasa mencari sumber belajar sendiri, bukan sekadar menyalin jawaban dari buku. Selain itu, diskusi kelompok membuat anak lebih berani menyampaikan pendapat.
Tantangan di Lapangan
Meski menjanjikan, sistem ini bukan tanpa kendala. Pertama, fasilitas
sekolah belum merata. Tidak semua sekolah punya akses internet memadai atau
perangkat digital untuk menunjang proyek. Kedua, kesiapan guru juga jadi
soal.
Tidak mudah mengubah kebiasaan mengajar yang sudah puluhan
tahun didominasi PR dan hafalan.
Selain itu, evaluasi proyek lebih rumit daripada memeriksa lembar jawaban. Guru harus menilai proses, kerja sama tim, dan hasil akhir. Ini tentu membutuhkan waktu dan energi ekstra.
Masa Depan Belajar Tanpa PR
Meski masih menuai pro-kontra, tren meninggalkan PR
sepertinya tidak bisa dibendung. Dunia kerja kini lebih menghargai keterampilan
berpikir kritis, komunikasi, dan kreativitas, bukan sekadar menghafal teori.
Project-based learning memberi bekal itu sejak dini.
Bisa jadi, beberapa tahun mendatang, istilah PR hanya tinggal kenangan. Buku catatan penuh soal diganti dengan portofolio digital, tugas hafalan berubah menjadi presentasi kreatif. Guru tak lagi jadi “penjaga nilai”, melainkan partner belajar yang membimbing siswa menemukan passion mereka.
Transformasi pendidikan ini adalah cermin dari perubahan
zaman. Generasi Z menuntut cara belajar yang berbeda, lebih fleksibel, lebih
relevan dengan kehidupan nyata.
Hilangnya PR bukan berarti hilangnya belajar, melainkan
pergeseran menuju model pendidikan yang lebih manusiawi, menyenangkan, dan
adaptif.
Sekolah yang berani mengubah cara mengajar akan melahirkan
lulusan yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga siap menghadapi
tantangan dunia yang terus berubah.
Mengapa Metode Baru Lebih Relevan untuk Gen Z
Pekerjaan rumah (PR) selama ini dianggap cara klasik untuk
melatih kedisiplinan siswa. Namun, di era digital, metode itu mulai
dipertanyakan efektivitasnya.
Generasi Z, yang lahir dan tumbuh dengan gawai, internet,
dan media sosial, merasa PR tidak lagi cukup menantang.
Sebagai gantinya, banyak sekolah kini mulai menerapkan
project-based learning (PjBL). Metode ini menekankan pembelajaran melalui
proyek nyata yang menuntut kreativitas dan kolaborasi.
Siswa tidak hanya menghafal, tetapi juga belajar
menyelesaikan masalah, bekerja dalam tim, hingga mempresentasikan ide.
Keunggulannya jelas: proyek lebih dekat dengan dunia kerja
masa depan. Misalnya, tugas membuat kampanye sosial digital.
Siswa bisa memanfaatkan Instagram, Canva, hingga AI untuk
menghasilkan konten. Dari situ, mereka belajar literasi digital, komunikasi,
sekaligus kepedulian sosial.
Namun, perubahan ini tak lepas dari tantangan. Tidak semua
sekolah memiliki fasilitas yang mendukung. Guru juga harus beradaptasi untuk
menjadi fasilitator, bukan sekadar pemberi tugas.
Meski begitu, tren ini menunjukkan satu hal: pendidikan
sedang bergerak ke arah yang lebih relevan. Gen Z tidak hanya butuh nilai
tinggi, tapi juga keterampilan hidup. Dan proyek, bukan PR, yang bisa menjawab
kebutuhan itu.
Apa yang Dipelajari Gen Z dari Proyek
Sekolah?
Salah satu ciri khas project-based learning adalah
kolaborasi. Tidak seperti PR yang biasanya dikerjakan sendiri, proyek menuntut
siswa bekerja dalam kelompok. Hal ini ternyata membawa dampak signifikan pada
cara belajar Generasi Z.
Melalui kolaborasi, siswa belajar menyampaikan pendapat,
mendengarkan ide orang lain, dan mencari solusi bersama. Ini mencerminkan
realitas dunia kerja, di mana keberhasilan jarang ditentukan oleh satu orang,
melainkan hasil sinergi tim.
Selain itu, kerja kelompok juga melatih empati. Tidak semua
siswa punya kemampuan yang sama, sehingga ada yang berperan sebagai pemimpin,
ada pula yang lebih nyaman jadi eksekutor. Dinamika ini membantu siswa mengenal
kekuatan dan kelemahan masing-masing.
Bagi Gen Z yang terbiasa dengan interaksi digital,
kolaborasi proyek juga memperluas ruang komunikasi. Mereka bisa berdiskusi
lewat grup chat, berbagi file di cloud, atau melakukan brainstorming lewat
aplikasi kolaboratif.
Meski kadang menimbulkan konflik, inilah bagian penting dari pembelajaran. Dengan proyek, sekolah mengajarkan bahwa dunia nyata tidak selalu mulus, tetapi butuh kemampuan bernegosiasi dan bekerja sama.
Tantangan Yang Dihadapi dalam Sistem Belajar Tanpa PR
Jika PR dihapus dan diganti proyek, siapa yang paling
ditantang? Jawabannya, guru. Peran mereka kini bukan lagi sekadar memberi soal
dan memeriksa jawaban, melainkan menjadi fasilitator yang mendampingi siswa
mencari jalan sendiri dalam belajar.
Perubahan ini menuntut guru memiliki keterampilan baru.
Mereka harus menguasai teknologi, memahami metode evaluasi alternatif,
sekaligus mampu mengelola dinamika kelompok siswa.
Tidak semua guru siap dengan perubahan ini, terutama mereka
yang terbiasa dengan sistem konvensional.
Selain itu, beban kerja guru juga bertambah. Menilai proyek
jauh lebih kompleks daripada memeriksa lembar jawaban. Guru harus menilai
proses, kreativitas, kolaborasi, hingga presentasi siswa.
Namun, di sisi lain, banyak guru merasa metode ini memberi
kepuasan berbeda. Mereka melihat siswanya lebih aktif, berani berpendapat, dan
belajar dengan motivasi internal, bukan sekadar mengejar nilai.
Transformasi ini jelas menantang. Tapi jika berhasil,
pendidikan Indonesia akan melahirkan generasi yang lebih siap menghadapi dunia
nyata. Bukan hanya pintar di atas kertas, tapi juga tangguh, kreatif, dan
inovatif.